Oleh: Sil Joni*
OPINI | Kisah di Bulan Desember 2020 berwarna-warni. Peristiwa religius dan sekuler (profan) dalam seeting sosio-politik di Manggarai Barat (Mabar) terlaksana dengan baik.
Kesemarakan pesta demokrasi, Pemilihan bupati dan wakil bupati sudah digelar pada tanggal 9 Desember kemarin. Sorak dan pawai kemenangan terdengar di mana-mana sebab publik berhasil mengoptimalkan kedaulatannya untuk mendapatkan pemimpin politik, pembebas publik Mabar dari aneka belenggu politik negatif.
Tak terasa, hajatan dalam ranah iman, perayaan Natal 25 Desember, akan segera tiba. Kendati dibayang-bayangi dengan ‘terjangan badai pandemi covid-19’, spirit kita untuk memaknai perayaan itu, tak luntur.
Spirit inkarnatoris, Sabda yang menjadi daging praksis, kiranya menjadi benang merah untuk merefleksikan peristiwa Natal dalam konteks penjelmaan visi politik Mabar Bangkit menuju Mabar Mantap. Bahwasannya, pelbagai ‘sabda politis’ yang bergema dalam panggung politik kontestasi, mesti dijelmakan dalam tindakan dan kerja politik yang nyata dan terukur. Dengan itu, visi Mabar Bangkit tidak tinggal sebagai ‘sabda’ yang melayang dalam langit mimpi semata.
Secara historis, Natal selalu mengacu pada kisah kelahiran Yesus, Sang Juru Selamat di Bethlehem, Kota Daud 2000- an tahun lampau. Kenangan dan peringatan akan ‘kisah kelahiran yang mengharukan’ itu, selalu dirayakan setiap tahun oleh umat beriman kristiani di seantero dunia. Perayaan peringatan akan kelahiran-Nya dirindukan, dinantikan, dipersiapkan, dan selalu disambut dengan meriah.
Bahkan di era posmodern seperti sekarang ini, Natal tidak hanya dirayakan oleh orang kristiani, tetapi juga oleh komunitas agama lain dan mereka yang tidak percaya dengan eksistensi Tuhan (kaum ateis). Natal telah menjelma menjadi ‘pesta kultural’ yang melampaui sekat agama dan keyakinan subyektif.
Saya kira, dalam setiap perayaan Natal, pesan penting yang terus dikumandangkan dan digaungkan pembawa Firman (pengkhotbah) di gereja-gereja adalah supaya perayaan Natal tidak hanya berhenti di altar, terkurung, dan berkutat di seputar gereja, tetapi juga harus sampai ke pasar.
Pengalaman misteri kesatuan dengan Allah yang melahirkan kesalehan ritual perlu juga sampai pada tahap aplikasi dan melahirkan kesalehan sosial.
Dalam perayaan Natal, juga dalam perayaan sakramen lainnya, hidup keberimanan umat kristiani diharapkan semakin tumbuh bersemi, mekar, dan berakar kuat.
Melalui perayaan Natal, umat kristiani diingatkan kembali agar tidak hanyut larut dalam suasana nostalgia dan kerlip keindahan seputar gua Natal serta hanyut larut dalam kesyahduan lagu-lagu Natal.
Diharapkan juga agar umat kristiani tidak berhenti pada hal yang bersifat ritual-formal, tetapi juga sampai kepada pengalaman iman personal, pengalaman mistik (kesatuan dan keakraban dengan Allah) yang memotivasi dan menginspirasi serta mentransformasi hati untuk melakukan aksi konkret.
Natal adalah momen solidaritas dan berempati dengan yang lain. Yesus lahir di tempat terpencil di Kota Daud yang bernama Bethlehem. Kota yang sunyi, sepi, dan lengang. Dia lahir di kandang domba, terbungkus dengan kain lampin, dan dibaringkan di dalam palungan serta ditemani para gembala domba (Bdk Lukas 2:4, 8—11).
Peristiwa dan suasana ini mengingatkan dan menegaskan kembali komitmen umat kristiani dalam perziarahan hidup bersama dengan orang lain untuk setiakawan, solidaritas, dan ambil bagian secara aktif dalam karya pelayanan secara khusus pada kaum papa-miskin.
Apa yang umat kristiani lakukan untuk orang-orang yang terpinggirkan dan menderita sengsara itu, berarti melakukannya untuk Yesus sebagaimana yang Dia katakan sendiri: “…sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku.” (Mateus 25:40).
Suasana kelahiran Yesus di kandang domba mendorong dan mengundang umat kristiani untuk berempati dengan semua orang. Duka derita, kecemasan, dan harapan mereka adalah duka derita, kecemasan, dan harapan kita juga (Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, GS 2).
Natal (kelahiran Yesus)adalah tanda kehadiran dan penyataan kasih setia (inkarnasi) serta penyertaan (Immanuel) Allah pada semua orang (Bdk Yohanes 1:1-18). Sebab itu, umat kristiani dengan merayakan Natal diundang, dipanggil, dan diutus untuk menjadi tanda kehadiran, keakraban, dan penyataan kasih setia Allah sendiri dengan semua orang, menguatkan yang lemah, memberi penghiburan pada yang putus asa, memberi kepastian pada yang bingung, mengampuni, dan menerima yang lemah dan berdosa mengubah suasana kehidupan yang gelap penuh dosa menjadi terang yang penuh berkat, dekat-akrab dengan semua orang dan dengan tidak membeda-bedakan apa agamanya, sukunya, rasnya, dan lain sebagainya.
Natal adalah berita gembira, kesukaan, damai, dan sejahtera karena Yesus Sang Penyelamat umat manusia telah lahir ke dunia. Sebagaimana yang dikatakan malaikat kepada para gembala yang menjaga kawanan ternak: ”Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk semua bangsa manusia”.
Penghayatan dan pengaktualisasian ‘pesan Natal’ seperti yang dinyatakan dalam tulisan ini dalam domain politik, hemat saya bisa menjadi garansi terwujudnya visi Mabar Bangkit. Betapa tidak, jika para pemimpin politik tampil sebagai seorang ‘pelayan yang dedikatif dan rendah hati’ serta penuh empati dengan nasib publik, maka proyek membangkitkan tubuh politik Kabupaten ini, bukan isapan jempol semata.
Selain itu, saya cukup optimis bahwa seandainya publik Mabar ‘kecipratan spirit Natal’ dalam hal solidaritas dan kesederhanaan, maka wajah Kabupaten ini akan berubah. Natal, dengan demikian, lebih dari sekadar seremoni dan ritualisme keagamaan, tetapi sebuah ‘habitus baru’ di mana sisi solidaritas, empati, kesederhanaan, dedikatif, kerendahan hati dan hati yang melayani menjadi laku keseharian yang hidup dan berdaya transformatif.
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik | Labuan Bajo, 24 Desember 2020
Discussion about this post