Ditulis oleh: Moh. Hafidz Kudsi (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Dunia pendidikan kembali tercoreng. Civitas akademika kompak mengernyitkan dahi. Jual beli ijazah dan penggunaan gelar palsu kembali terbongkar. Kini, pelakunya adalah salah satu Kepala Daerah di Provinsi Sumatra Selatan.
Kecurigaan masyarakat terjawab. Penggunaan gelar akademis oleh Bupati Lahat, Cik Ujang terbukti tidak sah alias palsu setelah ada pernyataan resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 461/E2/TU/2020 tanggal 06 April 2020 perihal Jawaban Permohonan Informasi Terkait Dugaan Ijazah Palsu atas Nama Cik Ujang.
Sebagai kepala Daerah, Cik Ujang pasti tertunduk malu sebab mencoreng nama baiknya sendiri. Gelar sarjana yang selama ini dibanggakan untuk mengelabui dan membohongi publik ternyata terbukti tidak sah. Naifnya, ini bukan hanya soal sanksi sosial yang tidak boleh tidak harus diterima Cik Ujang sebagai konsekuensi logis atas perilakunya sendiri. Sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, lembaga penerbit ijazah palsu dan pengguna ijazah tersebut harus disanksi pidana.
Berdasarkan pasal 263 KUHP dihukum dengan ancaman maksimal 6 tahun. Diluar KUHP juga sudah ada pengaturannya tersendiri, Pasal 69 ayat [1] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur bahwa “Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sebenarnya, praktek jual beli ijazah dan penggunaan gelar obralan merupakan tragedi pendidikan yang sangat serius. Persoalan ini sejak dulu seakan tidak bisa diatasi. Kepentingan bisnis dan jalan pintas untuk mendapatkan ijazah dan gelar akademis telah mengobrak abrik sistem pendidikan Indonesia yang mana mekanismenya sudah diatur oleh Undang-undang.
Tak kujung tuntas masalah bisnis jual beli ijazah menjadi bukti akan carut marutnya sistem pendidikan di Indonesia. Fungsi lembaga pendidikan seakan tercerabut dari akar substansinya. Berlangsungnya belajar mengajar menjadi sia-sia.
Transfer knowledge dan value menjadi sirna. Mahasiswa yang setiap hari harus berkejaran dengan jam kuliah, tiap saat harus berjibun dengan tugas dan harus berdarah-darah menyelesaikan tugas akhir skripsi seakan tidak ada manfaat dan tiada guna.
Semuanya serba instan.
Dengan bermodal uang maka tanpa proses yang semestinya maka ia akan mendapat ijazah dan gelar sarjana.
Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan pencetak insan akademis yang cerdas dan bermoral tiba-tiba kehilangan fungsinya ketika hanya digunakan sebagai alat bisnis mengobral gelar dan ijazah.
Peran dan kontrol Kemendikbud, memang, selama ini masih dipertanyakan. Kasus Cik Ujang adalah bukti ketidakseriusan Kemendikbud mengatasi masalah yang membahayakan terhadap pendidikan ini. Jangan sampai ada kecurigaan atau opini liar masyarakat bahwa ada pembiaran terhadap kampus yang melakukan praktek jual beli ijazah kalau misalkan tidak ada laporan langsung dari masyarakat.
Kemendikbud harus tegas dengan menindak perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah tidak sesuai dengan mekanisme Undang-undang yang berlaku. Sebagai bukti ketegasan Kemendikbud maka perlu mencabut izin operasional Universitas Sjakhyakirti Palembang yang mengeluarkan ijazah Cik Ujang sekaligus sebagai efek jera dan pembelajaran terhadap instansi lain yang melakukan praktek yang sama namun belum terungkap.
Selain itu, pihak kepolisian harus renponsif. Gerak cepat polisi mempidana oknum yang melakukan jual beli ijazah bukan hanya perintah konstitusi tetapi adalah tindakan penyelamatan terhadap masa depan pendidikan Indonesia.
Pendidikan adalah instrumen terbaik untuk mencetak generasi emas yang cerdas dan bermoral. Oleh karena itu, tidak boleh lagi ada kasus praktek jula beli ijazah di perguruan tinggi mana pun di Indonesia karena hanya akan mendegradasi dari fungsi pendidikan itu sendiri.
Discussion about this post