JAKARTA, ANYARNEWS.COM – Direktur LIMA Indonesia, Ray Rangkuti menilai bahwa tidak salah jika ditegaskan setelah pernyataan mundur yang menandai jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, 22 tahun kemudian publik menggemakan tagar Reformasi Dikorupsi. Penegasan bahwa Reformasi Dikorupsi juga tidak berlebihan, sebab agenda-agenda reformasi memang mengalami kemunduran signifikan.
“Hal ini tampak nyata jika kita memerhatikan lemahnya penegakan HAM, menciutnya gerakan anti-korupsi, Parpol yang mempraktikkan nepotisme, pemerintah yang kurang transparan dan akuntabel, serta menguatnya politik identitas,” kata Ray Rangkuti melalui keterangan persnya, Jumat (22/5/2020).
Lanjut Ray, sari segi fakta lapangan dan pembuatan aturan hukum, sebut Ray, DPR maupun pemerintah mengesankan langkah yang berlawanan dengan tujuan-tujuan awal reformasi. Sebut saja tentang UU KPK, Omnibus Law RUU Cipta Kerja, dan terakhir Perppu 1/2020 berkenaan penanganan Covid-19.
“Selain prosesnya yang mengindikasikan ketertutupan, substansi dalam aturan-aturan tersebut juga berlawanan dengan prinsip pemerintahan bersih dan baik serta tidak sejalan dengan kehendak publik,” sebutnya.
Pada sisi lain, Ray juga pesimis bahwa aktivis 98 yang masuk dalam kekuasaan mampu membawa agenda reformasi dalam kekuasaan. Alih-alih membantu perwujudan cita-cita reformasi, yang tampak justru bahwa mereka menjadi bagian dari siklus serupa yang sebelumnya terjadi pada aktivis 66 atau angkatan-angkatan berikutnya yang masuk dalam kekuasaan.
“Simbol-simbol perjuangan 98 banyak digunakan untuk menarik dukungan demi mendapatkan kekuasaan, tetapi setelahnya mereka banyak tidak peduli pada upaya perwujudan agenda reformasi,” imbuh dia.
Untuk itu, dirinya berharap agar pemerintah mah berbenah diri dan tak mengecewakan semangat reformasi.
“Pemerintah mesti menciptakan keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Seperti keadilan hukum, ekonomi dan sosial,” tutup Ray. (Aldo)
Discussion about this post