Belakangan viral bagi-bagi sembako di pinggir jalan. Mengundang empati dan antipati. Yang berempati menganggap bagi sembako adalah wujud kepedulian terhadap rakyat terdanpak Covid-19. Yang antipati menilai aksi simbolik bagi sembako dari dalam mobil tak indahkan etika sebagai pemimpin. Ya, aksi bagi-bagi sembako Pak Jokowi memunculkan sejumlah kritik di kalangan publik.
Ada yang memplesetkannya dengan ‘Bantuan Langsung Lempar’ karena sembakonya dilempar bukan dibagikan. Ada pula yang mengatakan, apa yang dilakukan Pak Jokowi melanggar ucapannya sendiri. Pemerintah meminta masyarakat menjaga jarak fisik dan kerumunan massa. Namun, bagi sembako itu justru menimbulkan kerumunan tanpa disertai teguran atau pembubaran dari pihak kepolisian. Mungkin karena Presiden yang beraksi, mereka pun menepi tak berani menginterupsi.
Salahkah bagi sembako di pinggir jalan? Tidak salah. Karena bisa memotivasi orang lain untuk saling berbagi di tengah pandemi. Yang salah adalah caranya. Rasanya tak elok melempar sembako dari dalam mobil meski niatnya mulia. Setelah banyak kritik bergulir, Presiden melakukan aksi simboliknya lagi. Kali ini bagi sembako dengan mendatangi rumah warga secara langsung. Secara simbolik, Presiden membagikan sembako ke tiga rumah warga. Selebihnya, warga sekitar menerima sembako dari petugas, bukan Presiden lagi.
Karena aksi simbolik dan dukungan media yang meliput, aksi heroik itu cepat tersebar di media sosial. Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden. Bey Machmudin menanggapi kritik Presiden Jokowi yang terus membagikan paket sembako di tengah wabah Covid-19. Menurutnya, membagikan paket sembako kepada rakyat secara langsung adalah cara Presiden menunjukkan keprihatinan dan empati kepada rakyat yang terdampak Covid-19.
Sayangnya, aksi simbolik itu tak dibarengi dengan aksi sistemik. Kesimpangsiuran terkait bantuan sosial yang dijanjikan pemerintah tak kunjung terlaksana. Entah karena menunggu produksi tas sembako yang bertuliskan ‘Bantuan Presiden’ atau sengkarut data penerima bantuan. Masih banyak kalangan akar rumput yang belum menerima bantuan. Mau itu BLT sebesar Rp 600 ribu atau sembako senilai Rp 600 ribu. Sama-sama belum merata.
Beberapa peneliti dan pengamat politik meminta Pak Jokowi tidak sekadar bagi-bagi sembako, tapi juga memperbaiki sistem pemberian bantuan sosial (bansos). Sebagai individu, berbagi dan saling membantu di masa pandemik seperti ini memang harus dilakukan. Namun, sebagai kepala negara dan penguasa, menetapkan kebijakan sistemik adalah sebuah kewajiban.
Bagi-bagi sembako secara personal hanya bisa menyasar skala lokal dan terbatas. Namun, memberi bantuan sosial dengan kebijakan menyeluruh akan menyasar semua lapisan masyarakat. Hal ini butuh keseriusan penguasa untuk memastikan bantuan tersebut tepat sasaran.
Perbaikan kinerja secara sistemik dari jajaran kementerian hingga petugas lapangan semestinya diutamakan. Kebijakan tumpang tindih antar menteri terkait bantuan sosial mengindikasikan bahwa koordinasi belum optimal. Bisa jadi pemahaman tentang beraneka program bantuan sosial ditafsiri berbeda-beda oleh kepala daerah.
Sebagai kepala negara, inilah ranahnya. Menetapkan kebijakan dan kinerja secara terstruktur, sistemis, dan teratur. Bukan amburadul. Secara personal, boleh dibilang Pak Jokowi mampu membangkitkan semangat solidaritas sosial. Tapi, secara komunal, boleh dikata Pak Jokowi kurang teliti dan antisipasi dalam membuat kebijakan. Tugas pemimpin bukan sekadar membuat aturan dan kebijakan. Tugas utamanya adalah memenuhi kebutuhan dasar serta memastikan rakyat mendapat haknya sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah.
Teringat bagaimana kemuliaan adab kepala negara seperti Khalifah Umar bin Khattab. Beliau blusukan ke perkampungan hanya demi mengecek kondisi rakyatnya. Berhenti di satu tempat, beliau melihat seorang wnaita memasak, sementara anak-anaknya menangis karena kelaparan. Khalifah Umar merasa bersalah dan tertegun mendengar alasan wanita itu. Ia memasak agar anak-anaknya terhibur lantaran menahan lapar.
“Seperti inilah yang telah dilakukan Khalifah Umar kepadaku. Dia membiarkan kami kelaparan. Ia tidak mau melihat ke bawah, memastikan kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum”
Wanita itu diam sejenak. “Umar bin Khattab bukanlah pemimpin yang baik. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.” Mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan, beliau memanggul sendiri sekarung gandum dari Baitul Mal ke rumah wanita tersebut.
“Wahai Amirul Mukminin, biarkan saya yang memikul karung tersebut” pinta Aslam yang tak tega melihat Amirul Mukminin yang tampak kelelahan. Mendengar permintaan tersebut KhalifahUmar bukannya senang melainkan marah. Mukanya merah padam. Beliau menjawab, “Wahai Aslam, apakah engkau mau menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku nanti di akhirat kelak?”
Seperti itulah keteladanan Khalifah Umar sebagai pemimpin. Bahkan beliaulah orang pertama yang harus merasakan derita rakyatnya. Apa yang mereka makan, maka beliau memakannya. Sebagaimana penolakan beliau menikmati daging saat wabah kekeringan dan kelaparan melanda Madinah.
Kisah beliau menjadi kisah teladan sepanjang masa. Bukan karena bantuan media atau pencitraan di muka kamera. Rasanya sulit ada pemimpin seperti Khalifah Umar. Mengingat, sistem yang diterapkan jauh dari etika pemimpin yang siap berkorban serta bertanggungjawab kepada rakyat. Sistemnya lebih sibuk memikirkan bagaimana membangun citra positif ketimbang kebijakan yang memihak rakyat.
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Discussion about this post