Dampak pandemi virus Corona di Indonesia, tak hanya merongrong ketahanan kesehatan, tapi juga pertumbuhan ekonomi. Baik sektor formal dan informal merasakan lesunya ekonomi. Sejumlah perusahaan memilih merumahkan karyawannya (PHK). Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan beberapa paket stimulus ekonomi salah satunya program kartu pra kerja.
Seperti diketahui, pada masa kampanye Presiden Jokowi, program Kartu pra kerja awalnya ditujukan untuk meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang unggul dan peningkatan kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, sehingga dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Namun, sejalan dengan besarnya imbas wabah Covid-19 terhadap ekonomi nasional, pemerintah pun mengalihkannya menjadi salah satu paket stimulus ekonomi. Guna menyelamatkan jatuhnya ekonomi
Peluncuran program ini terkesan dipaksakan hanya untuk merealisasikan janji kampanye pilpres. Pasalnya program ini menyasar 5,6 juta orang sedangkan, jika kita membaca data sebelum Covid-19 menyerang, angka pengangguran berada di kisaran 7,05 juta orang, ada 74 juta orang yang bekerja di sektor informal, dan 19,64 juta orang yang bekerja paruh waktu, (databoks.katadata). Jika diakumulasi akan sangat jauh dari target pemerintah yaitu hanya 5,6 juta orang penerima, itu pun belum ditambah korban PHK akibat dampak Corona ada 2,8 juta orang.
Salah satu jaring pengaman ini pun tidak efektif untuk menopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia, karena permasalahan yang terjadi saat ini bukan kurangnya kemampuan untuk masuk ke dunia kerja tapi, tidak ada lapangan kerja yang akan menyerap tenaga kerja. Justru saat ini tenaga kerja melimpah karena adanya pemutusan hubungan kerja namun, di sisi lain industri mengalami penurunan produksi karena kurangnya daya beli masyarakat sehingga industri tidak dapat memperkerjakan orang lebih banyak.
Program ini tidak sesuai dengan urgensi di lapangan. Saat ini yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, ialah kebutuhan dasar harian yang kian sulit dipenuhi. Insentif berupa uang tunai yang diterima, yang tadinya untuk mencari kerja, bisa jadi mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan karena inilah urgensi prioritas masyarakat saat ini. Hal ini dibenarkan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai kartu Prakerja tidak efektif, KSPI meminta bantuan lebih baik diberikan dalam bentuk tunai (BLT)
Program ini pun kembali menjadi polemik, karena berbau nepotisme pemerintah bekerja sama dengan beberapa platform digital untuk pelatihan secara daring, salah satunya Ruangguru. Ruangguru diketahui, milik stafsus milenial presiden Adamas Belva Syah Devara.
Pelatihan melalui Online tidak tepat karena kartu pra kerja adalah jaring pengaman sosial tujuannya ‘mengganjal’ perut namun peserta harus diberatkan dengan kuota internet. Belum lagi akses internet di Indonesia masih tergolong rendah. Dan pelatihan melalui Online seperti pembelajaran otodidak belum lagi konten yang ditawarkan platform sebagian dapat diakses melalui Youtube secara gratis. Seperti membuat CV, manajemen diri, mendapatkan beasiswa. Konten yang ditawarkan tidak banyak mengarah kepada skill. Maka pemerintah pemborosan saat harus menggelontorkan dana Rp 5,6 triliun untuk insentif pelatihan Online.
Program ini mengasumsikan adanya bagi-bagi proyek, karena yang diuntungkan tentu platform yang digandeng pemerintah. Apalagi tidak adanya transparansi saat pemerintah menggandeng platform tersebut semakin membenarkan asumsi yang beredar. Hal ini, membuat anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay angkat suara meminta pemerintah terbuka dalam proses penunjukan perusahaan pelaksana program Kartu Prakerja. Selain itu, pemerintah wajib menjelaskan ke publik alasan penunjukan perusahaan yang terlibat.
Negara telah gagal melihat kebutuhan hakiki rakyatnya. Kondisi ini semakin menggambarkan negeri ini berwatak Kapitalisme, yang motif utama di balik kapitalisme adalah keuntungan. Program ini menguntungkan rezim sebagai pemenuhan janji kampanye(keuntungan politik) padahal, nyatanya program ini asal jalan tidak melihat realita di lapangan rakyat lebih butuh pemenuhan kebutuhan dibanding pelatihan, rezim saat ini sudah terbiasa dengan pencitraan maka tak heran program ini pun muaranya ke sana. Belum lagi program ini menguntungkan kelompok tertentu, alih-alih untuk pengaman sosial, kucuran dana langsung ke platform-platform milik mitra pendukung rezim dan para kapitalis seperti OVO milik Lippo group, goPay milik gojek, Ruangguru milik stafsus, dan lainnya.
Berbeda dengan Islam berpandangan bahwa seorang pemimpin (Khalifah) harus berwatak riayaah su’unil ummah (mengurusi urusan rakyatnya) tanpa memikirkan untung rugi, karena baginya ia adalah ra’ain (pengurus) sesuai dengan hadits Rasulullah, “Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Dan terdapat sanksi tegas jika Khalifah lalai dalam kepemimpinannya yaitu siksa neraka menanti.
Maka Khalifah melihat kondisi ini akan menyiapkan langkah yang tepat. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khathab saat Daulah diterpa wabah. Beliau mengeluarkan sejumlah kebijakan ekonomi untuk meringankan beban masyarakat. Ia juga mengirimkan surat ke beberapa Gubernurnya di beberapa daerah jika keuangan negara mulai menipis seperti Abu Musa di Basrah, ’Amru bin Ash di Mesir, Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam dan Saad bin Waqas di Irak, untuk mengirimkan bantuan kebutuhan pokok ke Madinah. Ikatan mereka begitu kuat karena keimanan yang melekat. Umar meminta bantuan kepada para gubernur yang kaya di negerinya, hingga dikirimlah dari daerah bagian Kekhalifahan yang makmur seribu unta yang membawa tepung melalui jalur darat dan 20 perahu yang membawa tepung dan minyak melalui jalur laut, serta mengirim lima ribu pakaian untuk wilayah krisis. Bantuan ini gratis tanpa syarat dan riba, karena masih bagian wilayah Kekhalifahan. Ini semua tercatat dalam buku The Great Leader of Umar bin Khattab karya Dr. Muhammad ash-Shalabi).
Sembilan bulan paceklik terjadi, Umar memberikan makanan gratis kepada rakyat, membagi-bagikan tepung, mentega, kurma dan anggur. Beliau juga menugaskan orang-orang untuk mengantarkan makanan dan pakaian ke tempat-tempat yang terjadi paceklik. Bahkan tungku-tungku Umar sudah dinyalakan para pekerja sejak sebelum subuh, mereka menumbuk dan membuat bubur. Dan dibagikan kepada rakyat.
Ini gambaran totalitas pemimpin dalam mengurus rakyatnya orientasinya adalah akhirat. Hanya mengharap rida Allah SWT. Tanpa memikirkan untung rugi pribadi atau kelompok dalam memimpin. Maka jika ingin mendapatkan pemimpin sekaliber Umar bin Khathab sudah selayaknya mengganti sistem Kapitalisme di negeri ini menjadi sistem Islam yaitu Khilafah
Syarifah ashilah
Pemerhati masalah politik dan ekonomi
Discussion about this post