“Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air dalam panci di dekat sumur”. Begitu Ir. Soekarno mengawali tulisannya di Panji Islam, tahun 1940. “Saya punya anak Ratna Juami berteriak _ : ‘Papie, Papie, si Ketuk menjilat air dalam panci.’
‘Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapakali bersih-bersih dengan sabun dan creoline.’
‘Tidakkah Nabi bersabda bahwa panci ini mesti dicuci tujuh kali, di antaranya satu kali dengan tanah?’
‘Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan ceroline, Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan ceroline.’”
Setelah mendengar penjelasan itu, kata Soekarno: “Muka Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar. Maha Besar Allah Ta’ala, maha mulialah Nabi yang Ia suruh”.
Dalam tulisan berjudul “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara” itu, Soekarno ingin mengingatkan bahwa masyarakat senantiasa berubah sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyakat, kata Soekarno, “seakan-akan bersayap kilat; tetapi pengertian tentang syariat seakan-akan tidak bersayap, tidak berkaki, seakan-akan tinggal beku kalau tidak ada kekuatan-kekuatan muda yang selalu mengajak kepada rethinking of Islam.”
“Kita hidup bukan lagi dalam masyarakat onta tetapi di dalam masyarakat kapal terbang”, begitu kata Soekarno. Tulisan itu ditutup dengan mengulang kembali kisah si Ketuk di atas, seolah ingin menegaskan bahwa Islam harus mengikuti denyut jantung perubahan zaman agar berkemajuan. Islam harus harus rasional.
Terang saja ini mengusik rasa keberagamaan dan intlektualitas Mohammad Natsir. Melalui beberapa tulisan –di antaranya berjudul Sikap Islam terhadap Kebebasan Berpikir, di majalah yang sama antara April hingga Juni 1940, Natsir mengeritik Pemikiran Islam Soekarno.
Perintah-perintah agama, kata Natsir, tidak sama sifatnya. Ada yang maknanya tidak ma’qul dengan_ illat_ -nya, yakni maksud dan tujuannya atau sebabnya tidak diterangkan oleh pemberi perintah tetapi diterangkan cara-cara mengamalkannya. Shalat dan puasa, misalnya, adalah termasuk dalam wilayah ini; wilayah yang harus kita pulangkan urusannya kepada Allah dan Rasul-Nya, yang kita terima bila kaifa (tanpa bertanya bagaimana). Sekali pun satu ketika ditemukan manfaat shalat dari sisi olah raga, atau sisi lainnya, dan gerakannya dapat digantikan dengan gerakan lain yang lebih simple tapi nilai olahraga lainnya sama dengan shalat atau bahkan lebih baik, tapi shalat tetap tidak boleh ditukar dengan gerakan baru itu. Laksanakanlah shalat bila kaifa, tanpa tanya mengapa. Ini adalah wilayah dien.
Di luar wilayah dien, ada banyak ragam dan macam urusan yang tidak terhitung jumlah dan sifatnya menurut zaman dan tempat. “Untuk semua hal itu”, tulis Natsir, “kita dimerdekakan untuk mengaturnya sendiri, asal dijaga had dan batas-batas yang diterangkan oleh agama jangan terlanggar”. Ini adalah wilayah dunia, wilayah di mana “Agama mendorong akal merdeka supaya mengambil prakarsa untuk kebaikan dan kemajuan umat manusia”.
Soal si Ketuk menjilat panci adalah contoh betapa orang tidak dengan lekas dapat menentukan tempat dari satu persoalan. Di mana letak “mencuci dengan tanah” dalam hadist Nabi tersebut: di wilayah dien –kah atau di wilayah dunia ?
Maka, Natsir membalas :
“Ditakdirkan besok lusa anak saya datang mengatakan: ‘Ba ! Si Kumbang menjilat panci. Cukupkah kalau dicuci dengan sabun dan ceroline saja?’
Saya akan jawab: ‘Sekedar menjaga kebersihan kita, itu sudah cukup. Akan tetapi untuk menyempurnakan suatu suruhan agama yang harus kita terima dengan ta’abudi, cucilah panci itu pakai tanah satu kali dan lindangi dengan air bersih-bersih sampai enam kali. Sekarang, bila kuatir kalau-kalau pada bekas jilatan anjing itu ada bakteri-bakteri, cuci pulah sekali lagi dengan lisol atau ceroline dan yang semacamnya itu’.
Kalau saya jawab begitu, saya yakin bahwa anak saya pun akan tidur pada malamnya dengan nyenyak dan mukanya pun akan berseri-seri lantaran hygienischezin -nya sebagai anak dari zaman bakteriologi dan hygiene sudah ia puaskan dengan cara yang ia telah dimerdekakan oleh agama melakukannya. Sedangkan disamping itu ia telah sempurnakan pula satu suruhan ‘ubudiyah terhadap Tuhan dengan cara yang telah diterangkan oleh Rasulullah Saw… Mahasucilah Tuhan yang mengetahui akan apa yang nyata dan apa-apa yang gaib dari akal dan pancaindera hamba-hamba-Nya… Dan…, saya sendiri pun rasanya akan tidur nyenyak pula lantaran merasa beruntung mendapat kesempatan mendidik anak saya dari kecil mempergunakan hasil-hasil dari ilmu dan kebudayaan abad ke-20 ini, sambil menghormati akan suruhan-suruhan agama, dan agar mudah-mudahan nanti apabila ia tamat sekolah tinggi, ia tidak lekas menjadi maghtur dengan kelanjutan akal merdekanya dan memandang rendah kepada ajaran-ajaran agama sebelum memeriksa dan menyelidiki lebih dahulu, amin!…”
Saat ini, kita juga sedang mengahadapi perbedaan “pandangan keislaman” sehubungan pandemi corona. Sebahagian berpendapat, demi menghindari kerumanan massa, memutus rantai penyebaran virus corona, shalat berjemaah di Masjid ditiadakan sampai keadaan aman. Sampai-sampi ada shalat Jum’at yang dibubarkan aparat. Yang demikian ini dikatakan atas pertimbangan akal sehat. Terkesan seolah yang tetap berjemaah di Mesjid sedang tidak menggunakan akal sehatnya. Bahkan ada pula yang menyebut mereka sebagai “Mabuk dalam Beragama”.
Pokok soal silang pendapat ini mungkin tidak jauh berbeda dari apa yang dipolemikkan oleh Soekarno dan Natsir tahun 1940 itu, yakni betapa tidak mudahnya menentukan tempat dari satu persoalan. Dalam konteks memakmurkan masjid, Allah berfirman di Attaubah ayat 18:
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”
Pertanyaannya adalah, di manakah letak lam yahsya illallah, tidak takut kecuali kepada Allah, dalam urusan memakmurkan masjid: di wilayah dien –kah atau wilayah dunia ?
Dengan akal, boleh jadi manusia mendapatkan resep “obat kuat” untuk menumbuhkan keberanian (tidak takut kepada siapa pun) –semisal dengan memiliki tubuh kuat dan sehat, punya kekuasaan, ilmu dan teknologi, pasukan dan lain sebagainya. Tetapi hal itu tidak menjamin bahwa orang seperti itu akan takut kepada Allah dan mau memakmurkan Masjid. Malah bisa sebaliknya: tidak takut kepada Allah dan dari Masjid pun jauh pula. Yang pasti, pada saat seseorang punya keberanian karena memiliki “obat kuat”, maka sesungguhnya “obat kuat” itu adalah sesuatu yang ia takuti. Keberaniannya akan hilang, bila “obat kuat” tidak dimilikinya atau menjadi milik orang lain. Itu keberanian_ artificial,_ keberanian buat-buatan.
Persoalan memakmurkan masjid tidak saja bersifat kuantitatif, tetapi lebih pada kualaitatif. Frekuensi orang menegakkan shalat dan membayar zakat dengan mudah dikuantifikasi menjadi angka-angka dan grafik. Tetapi menyangkut Iman kepada Allah dan Hari Akhirat serta tidak takut kecuali kepada Allah, bagaimana dan dengan apa hendak diukur ? Di sinilah si Akal Merdeka tampaknya harus berani berhenti. Ini bukan wilayah dunia.
Sifat lam yahsya illallah, tidak takut kecuali hanya kepada Allah, tumbuh berkembang dan menguat pada hati orang-orang beriman tanpa memandang status sosial: tua atau muda, miskin atau kaya, penguasa atau rakyat jelata, berpendidikan tinggi atau rendah, berbadan kekar atau tipis. Orang beriman meyakini bahwa Penguasa Yang Maha Kuat lagi Maha Menentukan segala sesuatu cuma Allah. Dialah pemilik dan penguasa alam semesta. Orang beriman memiliki Allah, sehingga tidak akan takut kepada siapa dan apa pun. Ketakutannya cuma kepada Allah. Inilah sifat yang menumbuhkan kekuatan dahsyat orang-orang beriman, sifat yang sesungguhnya merupakan konsekuensi keimanan itu sediri.
Karena itu, maka kewajiban orang berimanlah membuktikan dirinya. Bukan dengan terori, bukang dengan angka-angka statistik melainkan dengan sikap dan tindakan. Sederhananya, Andalah yang harus membuktikan apakah Anda termasuk orang yang hanya takut kepada Allah. Kapan hal itu bisa Anda buktikan? Tentu di saat suasana memang sedang menakutkan. Sebab, dalam suasana aman dan nyaman tidak akan ada beda antara pengecut dengan pemberani.
Maka, bila ada yang tetap melaksanakan shalat berjemaah di mana Masjidnya dibersihkan sesuai ilmu pengetahuan modern dan dilengkapi pemantau suhu tubuh, orang sakit diharamkan ikut berjemaah dan jemaaah berwudu di rumah masing-masing serta lain-lain tindakan yang perlu untuk pencegahan corona; bisakah mereka ini disebut sedang tidak menggunakan akal sehatnya? Atau lebih dari itu, disebut sebagai “Mabuk dalam Beragama”? Bukankah mereka sedang memanfaatkan hasil kerja akal berupa ilmu dan teknologi sambil tetap menjaga dan menghormati suruhan Allah ?
Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak berjemaah di Masjid karena pertimbangan akal merdekanya. Dapatkah disebut sebagai orang-orang yang Bergama berdasarkan akal? Atau, orang-orang beragama yang bertahkim pada akal, berhukum pada rasio?
Akal memang dapat menumbuh-teguhkan keimanan manuisa, membuat manusia sadar bahwa ia kecil di hadapan Allah seraya tunduk patuh pada-Nya. Ayat-ayat Allah tentang alam semesta telah mencengangkan ilmu pengetahuan modern. Berbagai penelitian dan penemuan di abad 20 ternyata telah diungkap di dalam Alqur’an atau sunnah sejak abad ke 7. Kesesuaian antara informasi Alqur’an dan sunnah di satu sisi dengan fakta sains di sisi lain, telah mendorong banyak ilmuwan untuk melakukan penelitian ilmiah di bidang sejarah, geology, biology, oceonology, farmacy, kedokteran dls. dan tidak sedikit di antaranya kemudian menjadi Muslim. Begitulah ajaran Islam dalam wilayah dunia, wilayah di mana akal didorong oleh Islam untuk mengekplorasi segala sesuatu untuk kemaslahatan manusia; sekaligus tantangan bagi orang yang masih meragukan kebenaran Alqur’an dan kenabian Muhammad saw.
Tetapi dengan akal juga, manusia bisa menjadi kafir dan sombong serta menjauh dari Allah. Kemerdekaan akal tanpa batas, yang merambah juga ke wilayah dien, sehingga masalah-masalah dien pun harus masuk dalam frame akal, justeru akan merusak Islam itu sendiri. Yang demikian itu, Islam telah bertahkim pada akal, bertolok ukur pada akal pikiran merdeka. Hilanglah ruh agama Islam ini. Islam tinggal kerangka tanpa ruh, tanpa kekuatan.
Hari ini kita menghadai corona, besok entah apa dan lusa entah apa lagi. Akan bagaimanakah bentuk Islam ini nantinya? Akankah masih ada orang-orang yang merindukan mati syahid, misalnya?
Masih ada, bila kita teguh berislam dengan tetap menghormati suruhan-surahan Allah dan Rasul-Nya, serta tidak memasung akal pada kejumudan.
Tidak akan ada lagi, kalau agama ini bertahkim pada akal merdeka, sebab akal merdeka tidak kenal apa itu mati syahid. Akal merdeka, sebagaimana sifatnya yang berada di wilayah dunia, selalu menggunakan pertimbangan-pertimbangan dunia yang takut akan kematian.
Kutuliskan artikel ini, bukan bermaksud untuk mempertentangkan pandangan yang ada, tetapi merupakan upaya kecil menjaga agama, mengawal Aqidah Islamiyah agar Islam berkemajuan tanpa harus kehilangan ruh. Mudah-mudahan pula wabah ini membawa hikmah kebaikan buat kita semua, semakin mendekatkan diri kita kepada Allah swt. Semoga corona cepat berlalu agar perbedaan kita tidak terus melaju. Semoga pula orang-orang beriman yang gugur karenanya –khususnya para dokter dan perawat serta relawan kemanusiaan, dimasukkan Allah dalam golongon orang-orang yang mati syahid. Amin…
Wallahu a’lam bisshawab.
Dr. Masri Sitanggang
Salah satu Ketua Komisi di MUI Kota Medan
#MasyumiReborn
#MengawalAqidah
#MenjagaNKRI
Discussion about this post